Minggu, 03 Maret 2013

PENDIDIKAN ALTERNATIF DI BELANTARA


Judul buku      : Meretas Aksara di Belantara
Penulis             : Tim Warsi
Penerbit           : Elex Media Komputindo
Cetakan           : 1 / 2012
Tebal               : 137 halaman
ISBN               : 978-602-00-3136-1
Harga              : Rp.49.800


“Kami  Orang Rimba nioma”  demikian komunitas hutan asli Jambi menamai dirinya. Pasca era pembangungan 1970 an, orang rimba telah kehilangan hak dan sumber dayanya karena hutan telah berubah menjadi HPH, HTI, transmigrasi dan perkebunan skala besar.  Sementara itu, mereka tidak memiliki akses administrasi desa, politik, pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lain.  

Kondisi ini mendorong Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi untuk memberikan pendampingan.  Tahun 1998, pendekatan awal perlu dilakukan karena orang rimba sulit menerima hal baru.  Apapun yang dihadirkan pada mereka dianggap akan mengubah adat, budaya dan halom (bahasa).  Usaha keras ini membawa hasil, sekelompok orang rimba mau menerima metode pola baca, tulis, hitung.  Hingga saat ini terdapat 19 fasilitator Pendidikan Warsi yang bertugas bergantian dalam periode tertentu. 

Buku ini mengisahkan pengalaman para fasilitator pendidikan KKI Warsi saat berinteraksi dengan orang rimba, upaya pendekatan dan metode pengajaran yang dilakukan.  Sebelumnya, dilakukan survei  tentang pola pengasuhan anak orang rimba sebagai bekal membuat pilot project pendidikan alternatif. Tidak semua huruf diketahui dalam bahasa rimba, sehingga sulit untuk membacanya. Untuk mempermudah, fasilitator mengaitkan dengan benda-benda di alam rimba (halaman 1-27).

Kemudian pendidikan berkembang ke berbagai kelompok rimba lain di Taman Nasional Bukit Duabelas.  Perlengkapan logistik dan kesehatan harus disiapkan oleh fasilitator karena malaria masih menjadi momok di wilayah rimba. Hidup bersama orang rimba bukan hanya mengajarkan baca tulis hitung, tetapi juga sebaliknya, mereka mengajarkan budaya rimba, cara hidup, bahasa rimba, hutan dan ekosistem kepada fasilitator.  Hutan dan orang rimba adalah kesatuan ekologi dan ekosistem yang saling berhubungan (halaman 28-31).

Warsi menerapkan standar kurikulum pendidikan alternatif orang rimba sebagai konsep dasar yang dikembangkan.  Pertama, yaitu pendidikan yang sesuai dengan budaya rimba dan kedua, fenomena alam dan keragaman hayati di sekitar mereka menjadi media pembelajar. Selain itu perlu pemilihan waktu, teknik dan kurikulum  mengajar yang memungkinkan untuk diterima di komunitas anak rimba. Story telling merupakan teknik pembelajaran yang paling efisien karena dapat memancing kreativitas dan rasa ingin tahu anak.  Hasilnya, pada tahun 2006 terkumpul 20 dongeng yang ditulis oleh anak rimba dan telah dibukukan pada tahun 2007 (halaman 32-44).  

Karena terbatasnya fasilitator pendidikan, Warsi melakukan pengaderan guru rimba sejak tahun 2000.  Murid rimba yang sudah pandai membaca, menulis  dan berhitung, diberi tugas mengajar di rombong (kelompok) masing-masing.  Bahan pelajaran yang diberikan juga berkembang ke pengetahuan umum mengenai hutan, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial.  Murid-murid rimba jumlahnya mengalami fluktuasi.  Kebanyakan mereka akan berhenti jika sudah menikah dan mencari nafkah. (45-56) 

Semakin beragam orang rimba yang ada dalam suatu wilayah, semakin beragam pula politik kepentingan yang berkembang.  Di bagian tengah Taman Nasional lebih banyak penebangan liar terjadi, sehingga kondisi sosial-politik berubah dan menciptakan karakter manusia yang oportunis.  Sementara, orang rimba yang tinggal di pingggir Taman Nasional dan  sudah berinteraksi dengan pemukiman melayu atau transmigran biasanya memiliki pandangan yang lebih baik tentang pendidikan.  Namun, mereka banyak menerima stigma negatif karena belum tersentuh pendidikan formal.  Karena itulah, Warsi juga menginisiasi pendidikan formal untuk mereka. Untuk mewujudkan hal ini bukan hal mudah. Tidak serta merta sekolah mau menerima.  Selain itu, adaptasi jadwal sekolah yang ketat tentu memberatkan bagi mereka dengan jarak perjalanan jauh dan reaksi sosial seringkali tidak bersahabat (halaman 90-100).

Semangat belajar anak rimba sungguh luar biasa, patut dicontoh bagi mereka yang memiliki akses mudah dan fasilitas lengkap untuk sekolah.  Anak-anak rimba justru kecewa jika guru tidak datang mengunjungi rombong mereka.  Mereka rela menunggu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk bersekolah. Fasilitator pun menempuh 5 jam jalan kaki ke lokasi dan 2 jam jalan kaki memberitahu para murid sebelum belajar dimulai.  Membaca buku ini mengingatkan kita bahwa ada bagian dari Indonesia yang masih belum terjangkau pendidikan yang layak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar