Judul buku : Meretas Aksara di Belantara
Penulis :
Tim Warsi
Penerbit
: Elex Media Komputindo
Cetakan
: 1 / 2012
Tebal :
137 halaman
ISBN
: 978-602-00-3136-1
Harga :
Rp.49.800
“Kami Orang Rimba nioma” demikian komunitas hutan asli Jambi menamai
dirinya. Pasca era pembangungan 1970 an, orang rimba telah kehilangan hak dan
sumber dayanya karena hutan telah berubah menjadi HPH, HTI, transmigrasi dan
perkebunan skala besar. Sementara itu, mereka
tidak memiliki akses administrasi desa, politik, pendidikan, kesehatan dan
fasilitas umum lain.
Kondisi ini
mendorong Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi untuk memberikan
pendampingan. Tahun 1998, pendekatan
awal perlu dilakukan karena orang rimba sulit menerima hal baru. Apapun yang dihadirkan pada mereka dianggap akan
mengubah adat, budaya dan halom (bahasa).
Usaha keras ini membawa hasil, sekelompok orang rimba mau menerima
metode pola baca, tulis, hitung. Hingga
saat ini terdapat 19 fasilitator Pendidikan Warsi yang bertugas bergantian dalam
periode tertentu.
Buku ini
mengisahkan pengalaman para fasilitator
pendidikan KKI Warsi saat berinteraksi dengan orang rimba, upaya pendekatan dan
metode pengajaran yang dilakukan.
Sebelumnya, dilakukan survei
tentang pola pengasuhan anak orang rimba sebagai bekal membuat pilot project pendidikan alternatif. Tidak
semua huruf diketahui dalam bahasa rimba, sehingga sulit untuk membacanya.
Untuk mempermudah, fasilitator mengaitkan dengan benda-benda di alam rimba (halaman
1-27).
Kemudian
pendidikan berkembang ke berbagai kelompok rimba lain di Taman Nasional Bukit
Duabelas. Perlengkapan logistik dan
kesehatan harus disiapkan oleh fasilitator karena malaria masih menjadi momok
di wilayah rimba. Hidup bersama orang rimba bukan hanya mengajarkan baca tulis
hitung, tetapi juga sebaliknya, mereka mengajarkan budaya rimba, cara hidup,
bahasa rimba, hutan dan ekosistem kepada fasilitator. Hutan dan orang rimba adalah kesatuan ekologi
dan ekosistem yang saling berhubungan (halaman 28-31).
Warsi menerapkan
standar kurikulum pendidikan alternatif orang rimba sebagai konsep dasar yang
dikembangkan. Pertama, yaitu pendidikan
yang sesuai dengan budaya rimba dan kedua, fenomena alam dan keragaman hayati
di sekitar mereka menjadi media pembelajar. Selain itu perlu pemilihan waktu,
teknik dan kurikulum mengajar yang
memungkinkan untuk diterima di komunitas anak rimba. Story telling merupakan
teknik pembelajaran yang paling efisien karena dapat memancing kreativitas dan
rasa ingin tahu anak. Hasilnya, pada
tahun 2006 terkumpul 20 dongeng yang ditulis oleh anak rimba dan telah
dibukukan pada tahun 2007 (halaman 32-44).
Karena
terbatasnya fasilitator pendidikan, Warsi melakukan pengaderan guru rimba sejak
tahun 2000. Murid rimba yang sudah
pandai membaca, menulis dan berhitung,
diberi tugas mengajar di rombong (kelompok) masing-masing. Bahan pelajaran yang diberikan juga
berkembang ke pengetahuan umum mengenai hutan, ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan sosial. Murid-murid rimba
jumlahnya mengalami fluktuasi.
Kebanyakan mereka akan berhenti jika sudah menikah dan mencari nafkah.
(45-56)
Semakin beragam
orang rimba yang ada dalam suatu wilayah, semakin beragam pula politik
kepentingan yang berkembang. Di bagian
tengah Taman Nasional lebih banyak penebangan liar terjadi, sehingga kondisi
sosial-politik berubah dan menciptakan karakter manusia yang oportunis. Sementara, orang rimba yang tinggal di
pingggir Taman Nasional dan sudah
berinteraksi dengan pemukiman melayu atau transmigran biasanya memiliki
pandangan yang lebih baik tentang pendidikan.
Namun, mereka banyak menerima stigma negatif karena belum tersentuh
pendidikan formal. Karena itulah, Warsi
juga menginisiasi pendidikan formal untuk mereka. Untuk mewujudkan hal ini
bukan hal mudah. Tidak serta merta sekolah mau menerima. Selain itu, adaptasi jadwal sekolah yang
ketat tentu memberatkan bagi mereka dengan jarak perjalanan jauh dan reaksi
sosial seringkali tidak bersahabat (halaman 90-100).
Semangat belajar
anak rimba sungguh luar biasa, patut dicontoh bagi mereka yang memiliki akses
mudah dan fasilitas lengkap untuk sekolah.
Anak-anak rimba justru kecewa jika guru tidak datang mengunjungi rombong
mereka. Mereka rela menunggu berjam-jam
bahkan berhari-hari untuk bersekolah. Fasilitator pun menempuh 5 jam jalan kaki
ke lokasi dan 2 jam jalan kaki memberitahu para murid sebelum belajar dimulai. Membaca buku ini mengingatkan kita bahwa ada
bagian dari Indonesia yang masih belum terjangkau pendidikan yang layak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar