Selasa, 24 Januari 2012

Memahami Arti Memiliki ala Sanie B. Kuncoro





Judul Buku : Memilikimu
Penulis : Sanie B. Kuncoro
Penerbit : GagasMedia
Tebal : 284 Halaman
Tahun Terbit : Desember 2011
Harga : Rp. 43.000,-

Pertama kali membaca novel Sanie B. Kuncoro, saya terkagum-kagum pada pilihan kata yang digunakan Sanie. Sastra yang memanjakan pembaca, kalau boleh saya sebut begitu. Kalimat demi kalimat yang mudah dicerna, penggunaan bahasa lugas dan sederhana, namun kesan indah dan puitis begitu kental.

Novel ini bercerita tentang pasangan Anom Ilalang dan Samara yang merindukan kehadiran buah hati dari pernikahan mereka. Takdir Samara sebagai perempuan mandul tidak mengurangi besar cinta Anom padanya. Akan tetapi, Anom tidak bisa mengelak bahwa keinginan memiliki anak begitu kuat. Dalam benak Anom, dirinya selalu merasa terpanggil oleh seorang anak yang menyebutnya bapak. Bayangan seorang anak terus mendatanginya. Sementara Samara menolak untuk adopsi. Maka Anom memikirkan cara untuk bisa mempersembahkan anak bagi kekasihnya Samara, anak dari darah Anom. Dan luluhlah pertahanan seorang Anom, dia memilih rahim seorang perempuan bernama Lembayung sebagai tempat bersemayam janinnya.

Anom tidak menganggap hal ini sebagai pengkhianatan. Dia hanya satu kali berhubungan badan dengan Lembayung. Bukan karena cinta dan gairah, melainkan demi anak yang didambakan Anom dan Samara. Hati Anom tidak sanggup untuk menyimpannya sendiri, maka berbagilah cerita dengan Samara. Tentu saja bagi Samara, ini adalah badai besar untuknya. Anom pun memohon, “Jangan usir aku dari hatimu, tak akan aku pergi dari benakmu. Selama-lamanya aku kan tetap berada di dalam dirimu. Hanya satu malam itu aku beranjak, menghilang sesaat darimu demi anakku. Tak akan terulang lagi yang satu itu. Inilah sumpahku, bahwa aku tak akan lagi menghilang darimu. Maka berikanlah pengampunanmu” (Halaman 151)

Akankah Anom dapat memeluk buah hatinya, darah dagingnya? Takdir kadang tidak sesuai rencana. Anom mengalami kecelakaan dan koma sebelum anak yang dirindukannya lahir. Babak ini adalah bagian paling menguras air mata dari novel ini. Diceritakan bagaimana suasana batin Anom saat koma. Anom pun memanjatkan doa sebagai seorang ayah pada anaknya, “Pada suatu ketika akan datang padamu berbagai musim. Kemarau dan penghujan. Sering kali kemarau sedemikian panjang, mengeringkan ketabahanmu. Mematikan ikan-ikan pada sungai-sungai bahagiamu. Atau penghujan yang tak kunjung berhenti menderasimu, memberikan balutan dingin hingga menelusup pada tulang-tulang kesedihanmu, menggenai ladang-ladang harapanmu, meredam cahaya bulir-bulir padimu. Namun laluilah setiap musim dengan sayap-sayap keberanianmu” (halaman 193)

Sanie juga menuliskan sisi hati Lembayung, perempuan yang mengandung anak namun tak berhak memilikinya. “ Mungkinkah anak ini akan menyimpan kenangan tentang seseorang yang memeluknya hari ini?” Akankah Lembayung memiliki tempat di dalam kenangan anak ini? Atau terhilang dirinya tak berjejak dalam kenangan? “Maka jadikanlah aku, perempuan yang melahirkanmu, sebagai buku tertutup yang tak akan terbaca ulang. Jadikan aku seumpama jejak goresan pasir tepian pantai, yang akan terhapus ketika ombak datang, menghilang dilaut lepas mengarungi perjalanan tak berjejak.” (halaman 231)

Dan doa seorang nenek kandung, yaitu Ibu dari Lembayung, yang akan melepaskan cucunya terasa sangat menyentuh hati. “Disinilah hatimu berada. Bertumbuhlah dengan hati yang mengakar kuat. Tabunglah ketabahan dengan segenap dayamu. Karena akankau perlukan ketabahan berlapis-lapis. Demi menjaga hatimu tetap utuh dari benturan yang ingin meretakkanmu “ (Halaman 236).

Maka Lembayung mengantarkan anak itu kepada Samara. Harapan kembali terpanjatkan, “Semoga anak ini menerima dengan ikhlas dunia barunya dan dijalaninya tanpa prasangka serupa menjalani mimpi. Tanpa dendam tersimpan untuk terbangun pada suatu ketika demi menggugat sejarah awal kelahirannya” (Halaman 241)

Tidak mudah bagi Samara untuk tinggal bersama bayi simbol pengkhiatan Anom. Namun Samara terlahir sebagai manusia dengan belas kasihnya. Nasib Samara dan anak itu serupa. Anak yang malang, terlahir tanpa ayah dan ditinggalkan ibu yang melahirkan. Samara dan bayi itu adalah dua orang dengan kehilnagan seseorang yang sama. Seorang anom ilalang, seorang ayah yang tak sempat menimangnya. “Demi dirimu akan kumaafkan penghianatan itu dengan ikhlas, dan keikhlasan yang sama akan kuajarkan padamu suatu hari nanti sehingga dengan itu akan kau maafkan ayahmu, ibu yang melahirkanmu dan aku yang pernah mengingkarimu” (Halaman 280)

Cerita dalam novel ini merupakan permasalahan yang berat, namun Sanie menyajikannya nyaris tanpa konflik yang memanas. Reaksi Samara terhadap pengkhianatan Anom disajikan tanpa konflik, begitu juga reaksi Ibunda Lembayung mendengar pengakuan anaknya. Sanie tampaknya menggambarkan betapa bekunya hati yang sangat terluka. Atau sebaliknya, tentang kerelaan yang getir melepaskan sesuatu yang telah dimiliki. Dengan situasi lakon yang dingin, pembaca tetap akan terhanyut. Inilah kekuatan Sanie menuturkan kisah. Monolog-monolog yang dibahasakan oleh masing-masing lakon menghadirkan makna yang mendalam. Pada bagian inilah pembaca dibawa hanyut, antara kesal namun juga iba pada apa yang ditempuh Anom Ilalang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar